SINAU NGAJI DARI ALMARHUM KH.ABDULLAH SALAM KAJEN PATI.
HIDUP MENGHIDUPHIDUPI
Mendaki Puncak Hening
“Ana padhang dudu padhanging rina, ana peteng dudu petenging wengi. Mung alam tumlawung ngalangut datan patepi.” Inilah sepenggal kalimat, yang dalam tiap adegan kahyangan, pada pertunjukan wayang purwa, kalimat dalam Bahasa Jawa inilah yang sering tampiluntuk menggambarkan keabadian.
Atau dalam Bahasa Indonesia kurang lebih begini: Ada terang bukan terangnya siang, ada gelap bukan gelapnya malam. Tak ada waktu, tak ada ruang, hanya ke-luas-an yang tanpa tepi. Yang menarik – seperti dalam buku Anom Sukatno: Janturan lan Pocapan Ringgit Purwo — dalamjanturan yang dilantunkan ki dalang, kahyangan adalah keadaan tanpa subyek. Maka tak ada obyek. Yang ada suwung.
Kata suwung berbeda dengan kosong atau hampa. Suwung sebenarnya bukanlah sebuah defisit. Suwung punya wilayahnya sendiri. Dalam Serat Wirid Hidayat Jati-nya Ki Ronggowarsito,menampilkan sebuah keadaan “paradoksal” dalam meditasi: Suwung Sakjatining Isi (suwung sesungguhnya berisi, yang dalam ajaran Buddha: Isi adalah kosong, kosong adalah isi).
Bila kahyangan digambarkan sebagai suwung dan tak ada ‘rasa pribadi.’ Maksudnya bukanlah sebuah gambaran kekurangan, justru sebaliknya. Cipta, rasa dan karsa, tak ada karena tak dibutuhkan. Keheningan itu total: “Datan Kaprabawaning Rasa Bungah lan Susah.” Yang artinya kebebasan dari pengaruh perasaan suka dan sedih.
Manusia masa kini justru cenderung (seperti) ingin menjadi orang kuat dari luar, gagah dari luar,kaya dari luar meski terus miskin di dalam. Tapi ya sudahlah, toh saya tak ingin beretorika tetang cerita pewayangan atau tenggelam dalam budaya dan istilah jawa (meski saya bangga lahir sebagai orang jawa dan terbiasa hidup dalam lingkungan nahdliyin).
Saya hanya ingin mencoba belajar bagaiman menghargai hidup, belajar untuk rendah diri, belajar menghargai kebebasan orang lain dalam bersikap, menghargai bagaimana menjadi “kaya” dalam arti sesungguhnya, balajar dan belajar untuk –jika mungkin-- mencapai kesempurnaan hidup.
SAMUDRA JIWA
Belajar rendah diri? Atau ingin menjadi kaya? Saya jadi teringat tentang cerita sosok almarhum KH Abdullah Salam Kajen dari Polgarut Kajen, Pati, Jawa Tengah. Cerita ini pernah saya dengar dari orang tua dan kyai saya, almarhum Abah Saudi Effendi dari Jombang, serta cerita-cerita dari beberapa kyai yang pernah saya kunjungi.
Dalam cerita itu, Mbah Dullah, begitulah orang-orang biasa menyapa KH Abdullah Salam Kajen, adalah orang yang cukup “kaya raya.” Padahal, melihat penampilan dan rumahnya tidaklah “lebih baik” dari gotakan seperti tempat tinggal santri-santrinya yang sederhana.
Melihat bangunan empat persegi milik Mbah Dullah ini, mungkin orang menganggapnya miskin,atau minimal tidak kaya. Tapi jangan salah, setiap minggu sekali, Mbah Dullah selalu menggelar pengajian yang diikuti ribuan orang dari berbagai penjuru dan semuanya disuguhi makan gratis.
Tradisi Mbah Dullah inilah, yang kemudian –yang mungkin juga berkaca dari ajaran Mbah Dullah, yang selalu memegang teguh ajaran Nabi Muhammad SAW-- di sekitar awal Tahun 90-an, ditempat kyai saya (semasa hidup beliau), di Sambong Dukuh, Jombang, tiap seminggu sekali menggelar istighosa bersama para santri dan juga banyak dihadiri beberepa jama’ah di luar pesantren, yang semuanya, selain tausiah yang menyejukkan hati, juga mendapat makan gratis, seperti yang kerap dilakukan Mbah Dullah.
Selain pengajian-pengajian itu, setiap hari Mbah Dullah juga menerima tamu dari berbagai kalangan yang rata-rata membawa masalah untuk dimintakan pemecahannya. Mulai dari persoalan keluarga, ekonomi, hingga yang berkaitan dengan politik. Bahkan pedagang akik dan minyakpun beliau terima dan ‘beri berkah’ dengan membeli dagangan mereka.
Ketika beliau masih menjadi pengurus (syuriah) NU, aktifnya melebihi yang muda-muda. Beliau tidak pernah absen menghadiri musyawarah semacam Bahtsul Masaail, pembahasan masalah-masalah yang berkaitan dengan agama, yang diselenggarakan wilayah maupun cabang.
Ketika beliau masih menjadi pengurus (syuriah) NU, aktifnya melebihi yang muda-muda. Beliau tidak pernah absen menghadiri musyawarah semacam Bahtsul Masaail, pembahasan masalah-masalah yang berkaitan dengan agama, yang diselenggarakan wilayah maupun cabang.
Dalam sebuah catatan Gus Mus (KH Mustofa Bisri) yang pernah saya baca, pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuth Thalibin, Rembang dan Mantan Rais PBNU ini bercerita: Pada saat pembukaan Muktamar NU ke 28 di Situbondo, panitia meminta beliau –atas usul Kyai Syahid Kemadu— untuk membuka muktamar dengan memimpin membaca Fatihah 41 kali. Dan beliau jalan kaki dari tempat parkir yang begitu jauh ke tempat sidang, semata-mata agar tidak menyusahkan panitia.
Semasa kondisi tubuh beliau masih kuat, beliau juga melayani undangan dari berbagai daerah untuk memimpin Khataman Qur’an, menikahkan orang, memimpin doa dan sebagainya. Ketika kondisi beliau sudah tidak begitu kuat, orang-orang pun menyelenggarakan acara di rumah beliau.Bahkan, beliau pernah menikahkan tiga pasang calon pengantin dari berbagai daerah di gubuknya yang kecil.
Semasa kondisi tubuh beliau masih kuat, beliau juga melayani undangan dari berbagai daerah untuk memimpin Khataman Qur’an, menikahkan orang, memimpin doa dan sebagainya. Ketika kondisi beliau sudah tidak begitu kuat, orang-orang pun menyelenggarakan acara di rumah beliau.Bahkan, beliau pernah menikahkan tiga pasang calon pengantin dari berbagai daerah di gubuknya yang kecil.
MELAYANI BAGIAN DARI MEMBERI
Meskipun sangat disegani dan dihormati, termasuk oleh kalangan ulama sendiri, Mbah Dullah termasuk ulama’ yang menyukai musyawarah. Kyai sepuh Haamilul Qur’an ini bersedia mendengarkan,bahkan tak segan-segan meminta pendapat orang, termasuk dari kalangan yang lebih muda. Beliau rela meminjamkan telinganya hanyauntuk sekadar menampung pembicaraan-pembicaraan sepele orang awam. Ini adalah bagian dari sifat “tawadluk” dan kedermawanan beliau yang sudah diketahui banyak orang.
Tawadluk atau rendah hati dan kedermawanan adalah sikap yang hanya bisa dijalani oleh mereka yang kuat lahir batin, seperti Mbah Dullah. Mereka yang mempunyai (sedikit) kelebihan, jarang yang mampu melakukannya. Mempunyai sedikit kelebihan, apakah itu berupa kekuatan, kekuasaan, kekayaan, atau ilmu pengetahuan, biasanya membuat orang cenderung arogan atau minimal tak mau direndahkan.
Rendah hati berbeda dengan rendah diri. Berbeda dengan rendah hati yang muncul dari pribadi yang kuat, rendah diri muncul dari kelemahan. Mbah Dullah adalah pribadi yang kuat dan gagah luar dalam. Kekuatan beliau ditopang kekayaan lahir dan terutama batin. Itu sebabnya, di samping dermawan dan suka memberi, Mbah Dullah termasuk salah satu –kalau tidak malah satu-satunya – kyai yang tidak mudah menerima bantuan atau pemberian orang, apalagi sampai meminta.
Tawadluk atau rendah hati dan kedermawanan adalah sikap yang hanya bisa dijalani oleh mereka yang kuat lahir batin, seperti Mbah Dullah. Mereka yang mempunyai (sedikit) kelebihan, jarang yang mampu melakukannya. Mempunyai sedikit kelebihan, apakah itu berupa kekuatan, kekuasaan, kekayaan, atau ilmu pengetahuan, biasanya membuat orang cenderung arogan atau minimal tak mau direndahkan.
Rendah hati berbeda dengan rendah diri. Berbeda dengan rendah hati yang muncul dari pribadi yang kuat, rendah diri muncul dari kelemahan. Mbah Dullah adalah pribadi yang kuat dan gagah luar dalam. Kekuatan beliau ditopang kekayaan lahir dan terutama batin. Itu sebabnya, di samping dermawan dan suka memberi, Mbah Dullah termasuk salah satu –kalau tidak malah satu-satunya – kyai yang tidak mudah menerima bantuan atau pemberian orang, apalagi sampai meminta.
Menjadi pantangan. Seolah-olah beliau memang tidak membutuhkan apa-apa dari orang lain. Bukankah ini yang namanya kaya? Ya, Mbah Dullah adalah tokoh langka di zaman ini. Tokoh yang hidupnya seolah-olah di’wakaf’kan untuk masyarakat. Bukan saja karena beliau punya pesantren dan madrasah yang sangat berkualitas. Lebih dari itu, sepanjang hidupnya, Mbah Dullah tidak berhenti melayani umat secara langsung maupun melalui organisasi (Nahdlatul Ulama).
Mungkin banyak orang yang melayani umat, melalui organanisi atau langsung, tetapi yang dalam hal itu, tidak mengharap dan tidak mendapat imbalan sebagaimana Mbah Dullah, saya rasa sangat langka saat ini. Melayani bagi Mbah Dullah adalah bagian dari memberi. Dan memberi seolah merupakan kewajiban bagi beliau, sebagaimana meminta –bahkan sekadar menerima imbalan jasa-- merupakan salah satu pantangan utama beliau.
Beliau tidak hanya memberikan waktunya untuk santri-santrinya, tapi juga untuk orang-orang awam. Beliau mempunyai pengajian umum rutin untuk kaum pria dan untuk kaum perempuan yang beliau sebut dengan tawadluk sebagai ‘belajar bersama’. Mereka yang mengaji tidak hanya beliau beri ilmu dan hikmah, tapi juga makan setelah mengaji.
Inilah inti dari penciptaan manusia. Pusat dari kehidupan di alam fana. Tujuan hidup manusia adalah untuk bersujud pada sang pencipta seru sekalian alam. Inilh pusaka kehidupan sesungguhya. Bukam keris, tombak atau ilmu kesaktian yang didapat dari semedi atau ulah kanuragan. “Wamakhalakuljinnati wal insan illaliya’budhuun.” Yang artinya: Dan sesungguhnya Aku (Allah) ciptakan jin dan manusia kecuali beribadah kepANYA
Mungkin banyak orang yang melayani umat, melalui organanisi atau langsung, tetapi yang dalam hal itu, tidak mengharap dan tidak mendapat imbalan sebagaimana Mbah Dullah, saya rasa sangat langka saat ini. Melayani bagi Mbah Dullah adalah bagian dari memberi. Dan memberi seolah merupakan kewajiban bagi beliau, sebagaimana meminta –bahkan sekadar menerima imbalan jasa-- merupakan salah satu pantangan utama beliau.
Beliau tidak hanya memberikan waktunya untuk santri-santrinya, tapi juga untuk orang-orang awam. Beliau mempunyai pengajian umum rutin untuk kaum pria dan untuk kaum perempuan yang beliau sebut dengan tawadluk sebagai ‘belajar bersama’. Mereka yang mengaji tidak hanya beliau beri ilmu dan hikmah, tapi juga makan setelah mengaji.
Inilah inti dari penciptaan manusia. Pusat dari kehidupan di alam fana. Tujuan hidup manusia adalah untuk bersujud pada sang pencipta seru sekalian alam. Inilh pusaka kehidupan sesungguhya. Bukam keris, tombak atau ilmu kesaktian yang didapat dari semedi atau ulah kanuragan. “Wamakhalakuljinnati wal insan illaliya’budhuun.” Yang artinya: Dan sesungguhnya Aku (Allah) ciptakan jin dan manusia kecuali beribadah kepANYA
Sepenggal Cerita dari Gus Mus
Dalam cerita Gus Mus, di pesantren Mbah Dullah, pernah ada seorang kaya yang ikut mengaji berbisik-bisik: “Orang sekian banyaknya yang mengaji kok dikasi makan semua, kan kasihan kyai.” Dan orang ini pun sehabis mengaji menyalami Mbah Dullah dengan salam tempel (bersalaman dengan menyelipkan uang). Spontan Mbah Dullah minta untuk diumumkan, agar jama’ah yang mengaji tidak usah bersalaman dengan beliau sehabis mengaji. “Cukup bersalaman dalam hati saja!” kata beliau.
Konon orang kaya itu kemudian diajak beliau ke rumahnya yang sederhana dan diperlihatkan tumpukan karung beras yang nyaris menyentuh atap rumah, “Lihatlah, saya ini kaya!” kata beliau kepada tamunya itu. Memang hanya hamba yang faqir ilaLlah-lah, seperti Mbah Dullah, yang sebenar-benar orang kaya.
Kisah lain: Pernah suatu hari datang menghadap beliau, seseorang dari luar daerah dengan membawa segepok uang ratusan ribu. Uang itu disodorkan kepada Mbah Dullah sambil berkata: “Terimalah ini mbah, sedekah kami ala kadarnya.” Kemudian dijawab Mbah Dullah dengan tanya:“Di tempat sampeyan apa sudah tak ada lagi orang faqir?” tanya Mbah Dullah tanpa sedikit pun melihat tumpukan uang yang disodorkan tamunya, dan kembali beliau berkata: “Kok sampeyan repot-repot membawa sedekah ke mari?”
Lalu dijawab oleh orang tadi: “Orang-orang faqir di tempat saya sudah kebagian semua, mbah.Semua sudah saya beri.” Disahut lagi dengan pertanyaan oleh Mbah Dullah: “Apa sampeyan menganggap saya ini orang faqir?” tanya Mbah Dullah lagi. “Ya enggak, mbah …” jawab si tamu terbata-bata. Belum selesai bicaranya, Mbah Dullah sudah menukas dengan suara penuh wibawa: “Kalau begitu, sampeyan bawa kembali uang sampeyan. Berikan kepada orang faqir yang memerlukannya!”
Kisah yang beredar tentang ‘sikap kaya’ Mbah Dullah semacam itu sangat banyak dan masyhur di kalangan masyarakat daerahnya. “Untuk bisa seperti itu, harus ‘ngaji urip’ dulu Wak Bayan (panggilan kecil saya). Orang harus sanggup hidup untuk menghidup-hidupi,” seloroh teman yang biasa saya sapa Mbah Gelung atau oleh santri yang lain akrab dipanggil Wong, karena sikapnyadan penampilannya yang aneh bin ghoib.
Memelihara yang Lama dan Mengambil yang Lebih Relevan
Ini bukan berarti madrasah Mbah Dullah itu tidak menerima pembaruan dan melawan perkembangan zaman. Sama sekali tidak! Seperti umumnya ulama pesantren, beliau berpegang kepada ‘Al-Muhaafadhatu ‘alal qadiemis shaalih wal akhdzu bil jadiedil ashlah.’
Memelihara yang lama yang relevan dan mengambil yang baru yang lebih relevan. Hal ini bisa dilihat dari kurikulum, sylabus, dan matapelajaran-matapelajaran yang diajarkan yang disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Singkat kata, sebagai madrasah tempat belajar, Madrasah Mbah Dullah mungkin sama saja dengan yang lain. Yang membedakan hanyalah karakternya.
Mbah Dullah ‘memiliki,’ di samping pesantren, madrasah yang didirikan bersama rekan-rekannya para kyai setempat. Madrasah ini sangat terkenal dan berpengaruh, termasuk –kalau tidak satu-satunya— madrasah yang benar-benar mandiri dengan pengertian yang sesungguhnya dalam segala hal.
32 tahun Pemerintah Orde Baru tak mampu menyentuhkan bantuan apa pun ke madrasah ini. Orientasi keilmuan madrasah ini pun tak tergoyahkan hingga kini. Mereka yang akan sekolah dengan niat mencari ijazah atau kepentingan-kepentingan di luar ‘menghilangkan kebodohan,’ jangan coba-coba memasuki madrasah ini.
32 tahun Pemerintah Orde Baru tak mampu menyentuhkan bantuan apa pun ke madrasah ini. Orientasi keilmuan madrasah ini pun tak tergoyahkan hingga kini. Mereka yang akan sekolah dengan niat mencari ijazah atau kepentingan-kepentingan di luar ‘menghilangkan kebodohan,’ jangan coba-coba memasuki madrasah ini.
Ini bukan berarti madrasah Mbah Dullah itu tidak menerima pembaruan dan melawan perkembangan zaman. Sama sekali tidak! Seperti umumnya ulama pesantren, beliau berpegang kepada ‘Al-Muhaafadhatu ‘alal qadiemis shaalih wal akhdzu bil jadiedil ashlah.’
Memelihara yang lama yang relevan dan mengambil yang baru yang lebih relevan. Hal ini bisa dilihat dari kurikulum, sylabus, dan matapelajaran-matapelajaran yang diajarkan yang disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Singkat kata, sebagai madrasah tempat belajar, Madrasah Mbah Dullah mungkin sama saja dengan yang lain. Yang membedakan hanyalah karakternya.
Agaknya Mbah Dullah –rahimahuLlah — melalui teladan dan sentuhannya kepada pesantren dan madrasahnya, ingin mencetak manusia-manusia yang kuat ‘dari dalam,’ yang gagah ‘dari dalam,’ yang kaya ‘dari dalam’ sebagaimana beliau sendiri. Manusia yang berani berdiri sendiri sebagai khalifah dan hanya tunduk menyerah sebagai hamba kepada Allah SWT. Bila benar inilah perjuang yang luar biasa berat. Betapa tidak? Kecenderungan manusia di akhir zaman ini justru kebalikan dari yang mungkin menjadi obsesi Mbah Dullah.
Di zaman kini: Orang menganggap dirinya kuat bila memiliki sarana-sarana dan orang-orang di luar dirinya yang memperkuat, meski bila dilucuti dari semua itu menjadi lebih lemah dari makhluk yang paling lemah. Orang menganggap dirinya gagah bila mengenakan baju gagah, meski bila ditelanjangi tak lebih dari kucing kurap. Orang menganggap dirinya kaya karena merasa memiliki harta berlimpah, meski setiap saat terus merasa kekurangan.
Waba’du, sayang sekali jarang orang yang dapat menangkap kelebihan Mbah Dullah yang langka itu. Bahkan yang banyak justru mereka yang menganggap dan memujanya sebagai wali yang memiliki keistimewaan khariqul ‘aadah. Dapat melihat hal-hal yang ghaib, dapat bicara dengan orang-orang yang sudah meninggal, dapat menyembuhkan segala penyakit, dan sebaginya dan seterusnya. Lalu karenanya, memperlakukan orang mulia itu sekadar semacam dukun saja. Masya Allah!
Di zaman kini: Orang menganggap dirinya kuat bila memiliki sarana-sarana dan orang-orang di luar dirinya yang memperkuat, meski bila dilucuti dari semua itu menjadi lebih lemah dari makhluk yang paling lemah. Orang menganggap dirinya gagah bila mengenakan baju gagah, meski bila ditelanjangi tak lebih dari kucing kurap. Orang menganggap dirinya kaya karena merasa memiliki harta berlimpah, meski setiap saat terus merasa kekurangan.
Waba’du, sayang sekali jarang orang yang dapat menangkap kelebihan Mbah Dullah yang langka itu. Bahkan yang banyak justru mereka yang menganggap dan memujanya sebagai wali yang memiliki keistimewaan khariqul ‘aadah. Dapat melihat hal-hal yang ghaib, dapat bicara dengan orang-orang yang sudah meninggal, dapat menyembuhkan segala penyakit, dan sebaginya dan seterusnya. Lalu karenanya, memperlakukan orang mulia itu sekadar semacam dukun saja. Masya Allah!
Jiwa Mbah Dullah Seteduh Pohon Bidara
Ke’wali’an Mbah Dullah –waLlahu a’lam-- justru karena sepanjang hidupnya, beliau berusaha --dan membuktikan sejauh mungkin-- melaksanakan ajaran dan keteladanan pemimpin agungnya, Muhammad SAW, terutama dalam sikap, perilaku, dan kegiatan-kegiatan beliau, baik yang berhubungan dengan Allah maupun dengan sesama hambaNya.
Begitulah, Mbah Dullah yang selalu memberikan keteduhan itu, telah 10 tahun meninggalkan kita di dunia yang semakin panas ini. Bahkan, menjelang kematiannya dan ketika nfasnya terhentipun,seperti semasa hidupnya, beliau tidak ingin menyusahkan atau merepotkan orang. Atau, siapa tahu, kerinduannya sudah tak tertahankan untuk menghadap Khaliqnya. Beliau sengaja berwasiat untuk segera dimakamkan apabila meninggal.
Dan Ahad, 25 Sya’ban 1422 (11 November 2001) sore, ketika Mbah Dullah dipanggil ke rahmatuLlah, wasiat beliau pun dilaksanakan. Beliau dikebumikan sore itu juga di dekat surau sederhananya di Polgarut Kajen Pati.
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rida dan diridai, masuklah ke dalam golongan hamba-hamba sejati-Ku, dan masuklah ke dalam sorga-Ku!”
SubhanaLlah! Selalu saja, setiap kali ada tokoh langka yang dicintai banyak orang, Allah selalu memanggilnya terlebih dahulu. Bahkan, kyai sekelas Gus Mus, merasa seperti anak-anak yang terpukul ketika mendengar berita meninggalnya Mbah Dullah, lalu hati kecilnya –seperti yang pernah ditulisnya ketika usai menghadiri haul Mbah Dullah-- bicara yang tidak-tidak: “Secara spontan hati kecil saya ‘gerundel.’ Mengapa bukan koruptor dan tokoh-tokoh jahat yang sibuk pamer gagah tanpa mempedulikan kepentingan orang banyak itu yang dicabut nyawanya? Mengapa justru orang baik yang dicintai masyarakat seperti Mbah Dullah yang dipanggil? Astaghfirullah!”
Sepanjang perjalanan menuju rumah Mbah Dullah, kyai asal Rembang itu pun terus diam dengan pikiran mengembara. Kenangan demi kenangan tentang pribadi mulia Mbah Dullah, kembali melela bagai gambar hidup.Kyai berperawakan gagah. Hidung mancung. Mata menyorot tajam. Kumis dan jenggotnya yang putih perak, menambah wibawanya. Hampir selalu tampil dengan pakaian putih-putih bersih, menyempurnakan kebersihan raut mukanya yang sedap dipandang.
Dan sosok Mbah Dullah inilah seperti yang saya maksud: Ana padhang dudu padhanging rina, ana peteng dudu petenging wengi. Mung alam tumlawung ngalangut datan patepi. Keindahan dan keteduhan sorga, seperti yang digambarkan Al Qur’anulkarim, akan tanpak ketika kita menatap keteduhan wajah-wajah waliyuLlah. Kita seolah berada di bawah bayangan Pohon Bidara yang dikelilingi telaga susu dan telaga madu. SubkhanaLlah!***
Begitulah, Mbah Dullah yang selalu memberikan keteduhan itu, telah 10 tahun meninggalkan kita di dunia yang semakin panas ini. Bahkan, menjelang kematiannya dan ketika nfasnya terhentipun,seperti semasa hidupnya, beliau tidak ingin menyusahkan atau merepotkan orang. Atau, siapa tahu, kerinduannya sudah tak tertahankan untuk menghadap Khaliqnya. Beliau sengaja berwasiat untuk segera dimakamkan apabila meninggal.
Dan Ahad, 25 Sya’ban 1422 (11 November 2001) sore, ketika Mbah Dullah dipanggil ke rahmatuLlah, wasiat beliau pun dilaksanakan. Beliau dikebumikan sore itu juga di dekat surau sederhananya di Polgarut Kajen Pati.
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rida dan diridai, masuklah ke dalam golongan hamba-hamba sejati-Ku, dan masuklah ke dalam sorga-Ku!”
SubhanaLlah! Selalu saja, setiap kali ada tokoh langka yang dicintai banyak orang, Allah selalu memanggilnya terlebih dahulu. Bahkan, kyai sekelas Gus Mus, merasa seperti anak-anak yang terpukul ketika mendengar berita meninggalnya Mbah Dullah, lalu hati kecilnya –seperti yang pernah ditulisnya ketika usai menghadiri haul Mbah Dullah-- bicara yang tidak-tidak: “Secara spontan hati kecil saya ‘gerundel.’ Mengapa bukan koruptor dan tokoh-tokoh jahat yang sibuk pamer gagah tanpa mempedulikan kepentingan orang banyak itu yang dicabut nyawanya? Mengapa justru orang baik yang dicintai masyarakat seperti Mbah Dullah yang dipanggil? Astaghfirullah!”
Sepanjang perjalanan menuju rumah Mbah Dullah, kyai asal Rembang itu pun terus diam dengan pikiran mengembara. Kenangan demi kenangan tentang pribadi mulia Mbah Dullah, kembali melela bagai gambar hidup.Kyai berperawakan gagah. Hidung mancung. Mata menyorot tajam. Kumis dan jenggotnya yang putih perak, menambah wibawanya. Hampir selalu tampil dengan pakaian putih-putih bersih, menyempurnakan kebersihan raut mukanya yang sedap dipandang.
Dan sosok Mbah Dullah inilah seperti yang saya maksud: Ana padhang dudu padhanging rina, ana peteng dudu petenging wengi. Mung alam tumlawung ngalangut datan patepi. Keindahan dan keteduhan sorga, seperti yang digambarkan Al Qur’anulkarim, akan tanpak ketika kita menatap keteduhan wajah-wajah waliyuLlah. Kita seolah berada di bawah bayangan Pohon Bidara yang dikelilingi telaga susu dan telaga madu. SubkhanaLlah!***
Sumber: buku-buku seni pewayangan, serat jawa kuno, Tempo (catatan pinggir) dan kumpulan kisah dari beberapa ulama' langitan.